Sabtu, 12 Juli 2025
Keseringan Lihat Konten Receh Di Medsos Berisiko Kena Brain Rot
Keseringan Lihat Konten Receh Di Medsos Berisiko Kena Brain Rot

Keseringan Lihat Konten Receh Di Medsos Berisiko Kena Brain Rot

Keseringan Lihat Konten Receh Di Medsos Berisiko Kena Brain Rot

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Keseringan Lihat Konten Receh Di Medsos Berisiko Kena Brain Rot
Keseringan Lihat Konten Receh Di Medsos Berisiko Kena Brain Rot

Keseringan Lihat Konten Receh dalam beberapa tahun terakhir, konten receh—yang biasanya berupa humor ringan, video absurd, meme satir, hingga candaan yang kadang tanpa makna—menjamur di berbagai platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X (dulu Twitter). Meskipun pada awalnya hanya di anggap sebagai hiburan ringan, fenomena ini kini menjadi bagian dari budaya digital yang dominan di kalangan anak muda dan remaja. Kemudahan mengakses konten receh, di tambah dengan algoritma platform yang mendorong keterlibatan, membuat jenis konten ini terus mendominasi linimasa pengguna.

Namun, di balik tawa dan hiburan sesaat, muncul kekhawatiran serius dari kalangan ahli kesehatan mental dan pendidikan. Mereka menyebut efek dari konsumsi berlebih terhadap konten-konten semacam ini sebagai bentuk awal dari fenomena brain rot, istilah populer yang di gunakan untuk menggambarkan kondisi turunnya kemampuan kognitif akibat konsumsi digital yang pasif dan berlebihan. Konten receh seringkali tidak merangsang otak untuk berpikir kritis, melainkan hanya menstimulasi reaksi emosional instan, seperti tertawa atau kagum, tanpa menyentuh aspek intelektual.

Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Badan Nasional Penanggulangan Gangguan Mental Digital (BNPGMD) bahkan mulai mengadakan riset tentang korelasi antara konsumsi konten ringan secara masif dengan pola pikir masyarakat urban, terutama Gen Z dan Alpha. Hasil sementara menunjukkan bahwa individu yang menghabiskan lebih dari 5 jam per hari menonton konten hiburan ringan cenderung mengalami penurunan atensi, penurunan motivasi belajar, dan peningkatan kecenderungan short attention span.

Keseringan Lihat Konten Receh, fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun konten receh memiliki sisi positif sebagai hiburan, konsumsi berlebihan tanpa keseimbangan dengan informasi yang bermakna dapat memberi efek jangka panjang pada kapasitas berpikir individu. Ini menjadi tantangan baru di era digital, di mana informasi sangat melimpah namun kualitasnya tidak selalu sepadan.

Mengenal “Brain Rot”: Ketika Otak Terjebak Dalam Keseringan Lihat Konten Receh

Mengenal “Brain Rot”: Ketika Otak Terjebak Dalam Keseringan Lihat Konten Receh mungkin belum masuk dalam kamus ilmiah resmi, namun telah menjadi bagian dari diskusi populer di kalangan netizen dan psikolog digital. Secara harfiah, istilah ini mengacu pada kondisi di mana otak mengalami “pembusukan” fungsional akibat terlalu sering menerima stimulus ringan, berulang, dan tidak menantang secara intelektual. Efeknya terlihat pada kesulitan berkonsentrasi, mudah lupa, kehilangan motivasi, dan menurunnya kemampuan berpikir logis serta kritis.

Konten receh yang memenuhi media sosial seringkali di sajikan dalam format pendek, cepat, dan instan. Video berdurasi 10–30 detik yang menampilkan hal-hal konyol atau candaan absurd bisa membuat seseorang terus men-scroll tanpa henti. Otak menjadi terbiasa dengan dopamine instan dari setiap klik. Akibatnya, ketika di hadapkan pada tugas yang memerlukan fokus jangka panjang atau pemikiran mendalam, otak menolak karena sudah terbiasa dengan stimulasi cepat dan mudah.

Psikolog digital Dr. Rahma Fadillah menyatakan bahwa brain rot bisa memengaruhi struktur berpikir seseorang dalam jangka panjang. “Otak memiliki kemampuan neuroplastisitas, artinya ia bisa beradaptasi dengan pola konsumsi. Jika terlalu lama di biasakan dengan konten dangkal, maka jalur saraf kritis akan jarang di gunakan, dan akhirnya melemah,” jelasnya.

Gejala awal brain rot biasanya tidak terlalu kentara. Orang cenderung mengeluhkan rasa bosan saat membaca buku, merasa tidak sabar saat menonton film berdurasi panjang, atau sulit memahami teks yang memerlukan pemahaman mendalam. Pada tahap lanjut, hal ini bisa berdampak pada performa akademik, produktivitas kerja, hingga kemampuan membuat keputusan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan pemahaman yang lebih luas tentang apa itu brain rot dan bagaimana konten receh bisa berkontribusi terhadapnya, masyarakat di harapkan bisa lebih bijak dalam memilih konsumsi digital mereka. Menghibur diri sah-sah saja, namun penting untuk tetap memberi nutrisi pada otak melalui konten yang mendidik, menginspirasi, dan merangsang pemikiran kritis.

Media Sosial Dan Algoritma: Mesin Penguat Ketagihan Recehan

Media Sosial Dan Algoritma: Mesin Penguat Ketagihan Recehan yang membuat konten receh begitu dominan adalah sistem algoritma media sosial yang di rancang untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin. Algoritma ini belajar dari interaksi pengguna—apa yang di tonton, di sukai, di bagikan, dan di komentari—lalu menyajikan lebih banyak konten sejenis. Jika seseorang tertawa pada satu video konyol, kemungkinan besar video serupa akan terus muncul di berandanya.

Efek ini di sebut sebagai echo chamber of entertainment, yaitu situasi di mana pengguna hanya di suguhi konten. Yang menyenangkan dan mudah di cerna, tanpa variasi yang merangsang pemikiran. Lama-kelamaan, pengguna terperangkap dalam “ruang digital receh” yang sulit di tinggalkan. Ini di perparah dengan desain aplikasi yang memungkinkan scroll. Tanpa akhir (infinite scroll), sehingga pengguna sulit menyadari berapa banyak waktu yang telah di habiskan.

Monetisasi juga menjadi dorongan besar bagi kreator untuk terus memproduksi konten receh. Video singkat yang viral bisa mendatangkan keuntungan dari iklan, donasi, dan kerja sama merek. Sayangnya, demi kejar viralitas, banyak kreator memilih formula yang sama—humor dangkal, reaksi berlebihan, hingga sensasi murahan. Hal ini menciptakan lingkaran setan antara algoritma, kreator, dan audiens.

Platform seperti TikTok dan Instagram Reels sangat efektif dalam mengamplifikasi konten jenis ini. Beberapa video bahkan menggunakan efek audio dan visual yang di rancang untuk “menghipnotis” pengguna agar menonton hingga selesai. Tidak heran, banyak pengguna yang mengaku hanya ingin menonton satu video, tapi akhirnya terjebak menonton selama berjam-jam.

Untuk keluar dari perangkap algoritma ini, pengguna perlu secara sadar mengubah pola konsumsi mereka. Misalnya, dengan mengikuti akun yang menyediakan edukasi, mematikan autoplay, dan menentukan waktu maksimal penggunaan aplikasi hiburan. Beberapa orang bahkan memilih melakukan digital detox secara berkala untuk mengembalikan kontrol atas fokus dan perhatian mereka.

Strategi Menghindari Brain Rot: Bijak Bermedsos Dan Konsumsi Digital Seimbang

Strategi Menghindari Brain Rot: Bijak Bermedsos Dan Konsumsi Digital Seimbang tidak bisa di hindari sepenuhnya—karena ia memang menjadi. Bagian dari ekosistem hiburan digital—namun pengendalian konsumsi dan kesadaran diri bisa menjadi benteng terhadap efek buruknya. Salah satu cara utama untuk menghindari brain rot adalah dengan menerapkan prinsip diet digital. Yaitu menyeimbangkan konsumsi hiburan dengan informasi yang bernilai edukatif dan intelektual.

Langkah awalnya bisa di mulai dengan menyadari pola penggunaan media sosial. Banyak aplikasi saat ini menyediakan fitur “screen time” atau waktu layar yang bisa membantu pengguna. Mengevaluasi berapa jam mereka habiskan untuk scroll konten. Jika jumlahnya terlalu tinggi, maka perlu ada pengaturan waktu yang lebih sehat. Misalnya dengan menetapkan batas maksimal 1 jam sehari untuk konten hiburan ringan.

Mengikuti akun-akun yang membagikan konten edukatif, literasi digital, atau diskusi intelektual juga bisa menjadi langkah cerdas. Algoritma akan menyesuaikan beranda dengan preferensi baru ini, sehingga linimasa tidak lagi penuh dengan konten kosong. Membaca artikel panjang, menonton dokumenter, atau mengikuti kursus daring juga bisa menjadi “vitamin otak” yang memperkaya wawasan.

Selain itu, penting juga untuk melatih otak secara aktif dengan kegiatan seperti. Membaca buku, menulis jurnal, bermain puzzle, atau berdiskusi secara langsung dengan teman. Aktivitas-aktivitas ini membantu mengaktifkan bagian otak yang bertanggung jawab atas logika, ingatan, dan kreativitas.

Pada akhirnya, media sosial adalah alat. Apakah ia menjadi racun atau nutrisi bagi otak, sangat tergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Hiburan adalah bagian penting dari hidup, tetapi ketika hiburan menguasai cara berpikir kita, maka saatnya kita berhenti sejenak dan bertanya. Apa yang sebenarnya sedang kita beri makan pada otak kita dengan Keseringan Lihat Konten Receh.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait