Bahaya Rokok Ilegal Membuat Penurunan Pendapatan Negara
Bahaya Rokok Ilegal Yang Di Produksi, Di Distribusikan, Atau Di Jual Tanpa Mematuhi Peraturan Hukum Yang Berlaku. Seperti tidak membayar cukai, tidak memiliki izin resmi, atau tidak memenuhi standar kesehatan dan keselamatan. Sehingga hal ini bukan hanya berbahaya bagi kesehatan, tetapi juga mengancam ekonomi, hukum, dan masa depan bangsa. Oleh sebab itu untuk menghindarinya adalah langkah penting untuk melindungi diri sendiri dan masyarakat. Karena barang seperti ini sering di produksi tanpa pengawasan atau standar kualitas. Hal ini berarti bahan-bahan yang di gunakan bisa lebih berbahaya dari rokok legal.
Masalah ini di ungkapkan oleh Merrijantij Punguan Pintaria selaku Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar dari Kemenperin. Yang mana ia menekankan bahwa perekonomian nasional berpengaruh cukup signifikan terhadap kebijakan ini. Merri menjelaskan bahwa selama beberapa bulan terakhir telah di adakan diskusi intensif terkait kebijakan mengenai Bahaya Rokok Ilegal. Yang mana, beberapa di antaranya membahas keseimbangan antara kelangsungan industri tembakau dan kesehatan masyarakat. Meskipun ada kesepakatan umum bahwa kesehatan masyarakat perlu di jaga.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa terdapat industri tembakau yang telah beroperasi dengan jumalh lebih dari 1300. Yang mana, dengan jumlah mencapai sekitar 537 ribu orang yang menjadi tenaga kerja langsung. Selain itu, lebih dari 6 juta orang lainnya di topang oleh industri tembakau ini. Hal ini mulai dari petani cengkih dan tembakau hingga ke pedagang kecil. Oleh sebab itu, setiap kebijakan yang di rumuskan terkait rokok dengan kemasan Bahaya Rokok Ilegal ini perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap sektor-sektor yang bergantung pada industri ini. Yang mana, industri tembakau dalam 5 tahun kebelakang mengalami kemunduran yang cukup signifikan.
Bahaya Rokok IlegalJuga Berimbas Pada Peralihan Preferensi Konsumen Ke Produk Tembakau
Hal ini terutama di kategori rokok dengan harga yang lebih tinggi. Serta, ditambah dengan hadirnya rokok dengan kemasan polos beredar dengan luas. Menurut data, sebanyak 8,02 persen menunjukkan bahwa konsumen di Indonesia cenderung sensitif terhadap kenaikan harga. Bahaya Rokok IlegalJuga Berimbas Pada Peralihan Preferensi Konsumen Ke Produk Tembakau dengan harga yang lebih terjangkau. Dengan pilihan rokok yang memiliki opsi harga rendah, peredaran rokok dengan kemasan polos pun kian ramai. Menurut Merri, kondisi ini menggambarkan pentingnya kebijakan yang tidak hanya memerhatikan aspek kesehatan.
Kebijakan yang di rumuskan di harapkan tak hanya berfokus terhadap aspek kesehatan masyarakat saja. Namun, daya beli masyarakat terhadap produk rokok atau hasil olahan tembakau harus juga di pertimbangkan. Yang mana hal ini akan menjaga keseimbangan antara kedua kepentingan seperti kesehatan masyarakat serta pengendalian terhadap rokok dengan kemasan polos tersebut. Merri menyoroti bahwa penerapan standardisasi kemasan dan desain produk tembakau menurut Pasal 435 PP 28/2024. Yang mana, seharusnya melibatkan partisipasi dari Kementerian Perindustrian atau Kemenperin. Namun, ia mencatat bahwa Kemenperin tidak di libatkan oleh Kementerian Kesehatan.
Dan Kemenkes dalam proses dengar pendapat yang mereka adakan. Sehingga ia merasa masukan dari pihaknya di abaikan. Merri menyayangkan hal ini karena kejadian serupa pernah terjadi dan telah berulang kali terjadi. Ia berharap agar Kemenperin dapat di libatkan dalam perumusan kebijakan yang berdampak besar terhadap sektor industri yang mereka awasi. Hal ini termasuk kedalam pengendalian rokok dengan kemasan polos. Sehingga kesejahteraan rakyat dari sisi kesehatan dan keberlangsungan petani tembakau tetap terjaga. Selanjutnya, Merri juga mengingatkan bahwa di beberapa negara lain kebijakan rokok berkemasan polos tanpa merek sudah di terapkan.
Potensi Penurunan Pendapatan Negara
Sehingga, hal ini secara otomatis berhasil menurunkan angka prevalensi perokok. Namun, di lain sisi kebijakan ini akan memungkinkan memicu peredaran rokok ilegal yang kian meningkat. Maka dari itu dia menjelaskan bahwa upaya ini sebenarnya sudah memberikan sumbangan yang besar bagi negara. Yang mana, kebijakan ini mampu memberikan kontribusi hingga mencapai 213 triliun rupiah. Oleh karena itu Merri mempertanyakan apakah sudah ada solusi atau substitusi yang jelas terhadap peredaran rokok ilegal atau yang berkemasan polos tersebut. Terlebih, hal ini untuk mengimbangi Potensi Penurunan Pendapatan Negara.
Yang mana, jika kebijakan tersebut di berlakukan, apakah solusi tersebut berjalan dengan semestinya. Merri juga menambahkan bahwa perlu di pikirkan strategi untuk mengatasi dampak ekonomi yang mungkin timbul. Sehingga merri kembali menegaskan bahwa Kontribusi Industri Tembakau Terhadap Perekonomian Nasional tidak dapat di abaikan begitu saja. Namun, fenomena rokok dengan kemasan polos yang beredar di masyarakat menjadi perhatian khusus yang harus segera di sikapi. Hal ini, meskipun mendukung industri petani tembakau, namun tetap memberikan dampak kurang baik terhadap kesehatan masyarakat.
Karena sifat rokok polos tanpa merk ini yang belum mendapat izin baik cukai maupun regulasi terhadap peredarannya yang tidak dapat di lacak. Kembali ke sebelumnya, sebagai contoh di tahun 2020, industri ini menyumbang sekitar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar 10 persen. Meskipun penurunan terjadi hingga tujuh persen terjadi pada tahun 2023. Namun, penurunan ini di anggap signifikan dan menjadi perhatian penting. Selanjutnya, Ketua GAPPRI, Henry Najoan, juga menyuarakan kekhawatiran yang sama. Yang mana, hal tersebut terkait dengan regulasi dalam RPMK yang mengatur kemasan dan desain rokok.
Kondisi Industri Tembakau Semakin Tertekan
Hal ini dapat di simpulkan, bahwa Ketua GAPPRI tersebut berupaya menekan pergerakan rokok berkemasan polos dengan regulasi tentang kemasan dan desain rokok. Sehingga, rokok berkemasan polos ini menjadi hal yang menarik perhatian beberapa pihak maupun lembaga. Henry Najoan lanjut menyatakan bahwa sejak kenaikan tarif cukai, Kondisi Industri Tembakau Semakin Tertekan. Yang mana, kenaikan tarif tersebut telah berlangsung dari tahun 2020 hingga 2024. Selanjutnya, kenaikan ini semakin di perparah oleh daya beli masyarakat yang terdampak pandemi. Menurutnya, berbagai regulasi baik yang bersifat fiskal maupun nonfiskal telah di terapkan terhadap industri tembakau ini.
Sehingga, regulasi tersebut memberikan beban pungutan negara yang mencapai 76 persen untuk setiap batang rokok. Najoan mengungkapkan bahwa industri tembakau Indonesia di perlakukan seolah-olah setara dengan produsen narkotika. Yang mana, kontribusi industri tembakau ini terhadap perekonomian negara sangat signifikan. Najoan mengapresiasi usaha Kementerian Perindustrian atau Kemenperin dalam mencari solusi. Meskipun begitu, ia mengkritik ketidakadilan dalam penerapan kebijakan baru yang di perkenalkan oleh Kementerian Kesehatan atau Kemenkes. Sehingga, hal ini memungkinkan peredaran rokok – rokok dengan kemasan polos meningkat di kalangan masyarakat.
Karena mereka mengharuskan penggunaan desain warna dan seragam yang tidak menarik bagi konsumen. Najoan mempertanyakan apakah kebijakan ini sesuai dengan peraturan lain yang berlaku. Ia mempertanyakan hal tersebut sambil menyoroti adanya banyak ketentuan dalam RPMK yang di anggap tidak tepat. Serta, mengancam kelangsungan industri tembakau. Selain itu, Najoan mengkritik beberapa pasal dalam regulasi tersebut. Seperti, larangan radius dari sekolah sejauh 200 meter dan pembatasan iklan dalam penjualan rokok. Di sisi lain, rokok berkemasan polos beredar secara massive namun tak terdeteksi karena Bahaya Rokok Ilegal.