
GAPKI Minta Pemerintah menunda kebijakan kenaikan bea keluar ekspor crude palm oil (CPO) yang di jadwalkan berlaku mulai 17 Mei 2025. Langkah ini di anggap mendesak mengingat kondisi pasar global yang belum pulih sepenuhnya pasca tekanan harga dan perlambatan permintaan dari negara-negara importir utama seperti India, China, dan Uni Eropa.
Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin (19/5), menyampaikan bahwa kenaikan bea keluar justru berpotensi menurunkan daya saing produk sawit Indonesia di pasar global. “Kami memahami tujuan pemerintah untuk menjaga pasokan dalam negeri dan stabilitas harga, namun kebijakan ini datang pada waktu yang tidak tepat,” ujarnya.
Menurut Eddy, pelaku industri sawit tengah menghadapi berbagai tantangan, seperti fluktuasi harga CPO, kenaikan ongkos logistik, dan tekanan dari kampanye negatif di tingkat internasional. Dengan beban tambahan dari bea ekspor yang meningkat, maka banyak perusahaan sawit, khususnya skala menengah dan kecil, terancam kesulitan menjaga operasional.
Selain itu, GAPKI menilai bahwa kebijakan tersebut bisa berdampak terhadap keberlangsungan petani plasma dan swadaya yang selama ini menjadi mitra perusahaan perkebunan besar. “Kalau ekspor tersendat, pembelian tandan buah segar (TBS) dari petani juga akan terganggu. Akhirnya, mereka yang paling merasakan dampaknya,” tambah Eddy.
Data menunjukkan bahwa kontribusi sektor sawit terhadap devisa negara pada 2024 mencapai USD 28 miliar, dan Indonesia masih menjadi eksportir CPO terbesar di dunia. Namun, dengan persaingan ketat dari Malaysia dan negara produsen baru seperti Kolombia, Vietnam, dan Thailand, maka setiap kebijakan fiskal harus mempertimbangkan aspek kompetitif secara global.
GAPKI Minta Pemerintah berharap ada dialog terbuka antara pemerintah, pelaku industri, dan pemangku kepentingan lainnya untuk merumuskan kebijakan yang lebih adaptif terhadap situasi global. Dalam waktu dekat, GAPKI berencana mengajukan proposal resmi penundaan kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan.
Pemerintah Tegaskan Tujuan Kenaikan: Jaga Pasokan Domestik Dan Stabilitas Harga
Pemerintah Tegaskan Tujuan Kenaikan: Jaga Pasokan Domestik Dan Stabilitas Harga menegaskan bahwa kebijakan kenaikan bea keluar ekspor sawit bertujuan utama menjaga pasokan minyak goreng di dalam negeri. Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga, mengatakan bahwa langkah ini perlu di ambil untuk menyeimbangkan ekspor dan konsumsi domestik.
“Kami memahami keberatan GAPKI, namun pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa harga minyak goreng di pasar dalam negeri tetap stabil dan terjangkau, terutama menjelang musim libur dan Idul Adha yang biasanya terjadi lonjakan permintaan,” kata Jerry.
Kebijakan baru ini mengubah skema pungutan ekspor CPO dengan menaikkan tarif dari sebelumnya maksimal USD 85 per ton menjadi USD 120 per ton, tergantung pada harga referensi bulanan. Penyesuaian tersebut di lakukan dalam rangka memperkuat cadangan dana BPDP-KS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) yang di gunakan untuk subsidi minyak goreng rakyat dan program hilirisasi.
Selain itu, menurut Kementerian Keuangan, bea keluar ini juga menjadi instrumen fiskal untuk mengatur ritme ekspor saat harga global sedang tinggi, sehingga tidak memicu kekosongan pasokan dalam negeri. “Ini bukan pajak permanen, sifatnya sementara dan akan di sesuaikan berdasarkan indikator pasar,” ujar Suahasil Nazara, Wakil Menteri Keuangan.
Namun demikian, pemerintah juga membuka ruang dialog dengan asosiasi industri untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak berdampak terlalu besar pada sektor hulu dan petani. Pemerintah menyatakan akan melakukan evaluasi bulanan terhadap dampak kebijakan dan akan menyesuaikannya bila kondisi pasar tidak memungkinkan.
Langkah pemerintah ini mendapat respons beragam dari kalangan masyarakat dan pelaku usaha. Beberapa pelaku industri memahami urgensinya, sementara yang lain menilai pemerintah seharusnya memberikan stimulus untuk ekspor, bukan membatasi lewat pungutan tambahan.
Kementerian Koordinator Perekonomian juga menyebut bahwa kebijakan ini adalah bagian dari upaya menjaga keseimbangan rantai pasok nasional yang mencakup petani, pengolah, hingga konsumen akhir.
Dampak Terhadap Petani: Harga TBS Turun, Daya Beli Terkikis Dari GAPKI Minta Pemerintah
Dampak Terhadap Petani: Harga TBS Turun, Daya Beli Terkikis Dari GAPKI Minta Pemerintah adalah petani kelapa sawit, terutama petani swadaya. Di sejumlah daerah sentra produksi seperti Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat. Harga Tandan Buah Segar (TBS) di laporkan mulai turun sejak kabar kenaikan bea keluar mencuat.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Medali Emas Manurung. Mengatakan bahwa dalam dua pekan terakhir, harga TBS di tingkat petani telah turun sekitar 10–15 persen. “Penurunan ini terjadi karena perusahaan pengumpul menahan pembelian akibat ketidakpastian ekspor. Petani menanggung beban pertama dari kebijakan ini,” ungkapnya.
Menurutnya, harga TBS yang ideal berada di kisaran Rp 2.000 – Rp 2.300 per kilogram untuk menjamin kelayakan hidup petani. Namun, di banyak daerah, harga sudah merosot hingga di bawah Rp 1.800 per kilogram. Ini tentu menggerus pendapatan petani dan mempengaruhi daya beli mereka terhadap kebutuhan pokok.
Petani juga mengeluhkan kurangnya sosialisasi mengenai tujuan dan mekanisme bea keluar tersebut. Banyak yang tidak memahami bahwa bea di kenakan di tingkat eksportir. Namun dampaknya terasa langsung di hilir, yakni di tangan petani. “Sosialisasi harus di perluas dan di kemas dalam bahasa yang mudah di pahami,” kata Gulat.
Masalah lain yang di hadapi petani adalah keterbatasan akses ke pasar alternatif. Sebagian besar petani bergantung pada perusahaan mitra untuk menyalurkan TBS. Saat perusahaan menurunkan kapasitas serap, maka petani tidak memiliki opsi lain. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan memburuknya kesejahteraan petani dalam jangka menengah.
APKASINDO bersama GAPKI meminta agar pemerintah mengalokasikan sebagian dana. Dari BPDP-KS untuk menjaga harga TBS tetap stabil selama masa transisi kebijakan. Program buffer stock atau jaminan harga minimal diusulkan agar petani tidak terpuruk terlalu dalam.
Pengamat Ekonomi: Pemerintah Harus Seimbangkan Kepentingan Ekspor Dan Domestik
Pengamat Ekonomi: Pemerintah Harus Seimbangkan Kepentingan Ekspor Dan Domestik bahwa kebijakan kenaikan bea keluar ekspor sawit. Harus di tempatkan dalam konteks lebih luas, yakni menjaga keseimbangan antara kebutuhan fiskal, pasokan domestik, dan daya saing ekspor. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rusli Abdullah, menyarankan. Agar kebijakan fiskal seperti ini dilakukan secara bertahap dan dengan indikator yang transparan.
Menurut Rusli, keputusan pemerintah menaikkan bea keluar CPO berpotensi mengganggu. Aliran devisa dan pertumbuhan industri hilir jika tidak di imbangi dengan dukungan kebijakan lainnya. “Sektor sawit adalah tulang punggung ekspor nonmigas. Kalau pemerintah terlalu agresif menaikkan bea keluar, maka dampaknya bisa ke penyerapan. Tenaga kerja, investasi, dan pendapatan negara dalam jangka panjang,” ujarnya.
Ia juga menyoroti perlunya harmonisasi kebijakan antara kementerian teknis dan pelaku usaha. Jangan sampai satu kebijakan mendorong hilirisasi, tapi di sisi lain menekan ekspor bahan baku. Secara berlebihan, yang pada akhirnya merugikan semua pihak. “Ada baiknya bea keluar ini disesuaikan dengan indikator harga global dan kondisi pasar dalam negeri secara dinamis,” tambahnya.
Pakar kebijakan publik, Yenny Saraswati dari UI, menambahkan bahwa keterlibatan petani dalam perumusan kebijakan sangat penting. Mereka adalah bagian penting dari rantai pasok yang kerap terabaikan. “Kebijakan ekonomi harus inklusif. Jika petani tidak diberi perlindungan atau skema kompensasi, maka kebijakan ini bisa kontraproduktif secara sosial dan politik,” tegasnya.
Saran dari para pengamat ini menunjukkan pentingnya kehati-hatian dalam merumuskan kebijakan ekspor strategis seperti CPO. Pemerintah diminta tidak hanya melihat sisi makro fiskal, tetapi juga dampak mikro terhadap masyarakat di akar rumput.
Kebijakan bea keluar sawit ini akan terus menjadi perhatian dalam beberapa minggu ke depan. GAPKI dan asosiasi petani berencana untuk melakukan audiensi resmi, sementara pemerintah menyatakan. Akan membuka forum evaluasi berkala dari GAPKI Minta Pemerintah.